Kamis, 19 November 2009

rokok

Siapa Bilang Rokok Haram?
Kamis, 19-November-2009, Penulis: Buletin Jum’at At-Tauhid

Rokok adalah barang sial yang banyak menjangkiti kebanyakan kaum muslimin, apalagi orang-orang kafir. Barang ini betul-betul mencekoki otak para pecandunya. Ketika dinasihati bahwa rokok itu haram! Mereka akan menyatakan, "Siapa bilang rokok haram!!"

Menjawab pernyataan ini, kami tegaskan bahwa rokok telah diharamkan oleh para ulama besar kita berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.Keharaman ini umum mencakup laki-laki, maupun wanita, orang besar atau anak kecil!!! Haramnya rokok telah diketahui secara aksiomatik oleh semua orang sampai semua dokter, perusahaan rokok, pemerintah, bahkan semua orang yang berakal sehat ikut mengharamkannya. Adapun para pecandu rokok yang ditunggangi dan dibutakan oleh hawa nafsunya, maka mereka ini tak perlu ditoleh ucapannya dalam menghalalkan rokok. Tapi tolehlah fatwa-fatwa dan pernyataan ulama dan orang-orang yang berakal sehat.

Buletin Mungil At-Tauhid kali ini akan menyodorkan beberapa fatwa ilmiah kepada pembaca budiman agar menjadi ibroh (pelajaran); fatwa ini berisi pernyataan haramnya rokok. Para ulama yang kami akan nukilkan fatwanya adalah para ulama terpercaya, tidak terseret hawa nafsu, dan tidak segan menyatakan kebenaran, walaupun banyak yang tersinggung.

Pembaca yang budiman, para ulama kita di Timur Tengah telah lama menyatakan haramnya rokok, jauh sebelum para dokter "mengharamkannya".

Sebagian penanya pernah melayangkan pertanyaan kepada ulama besar kita di Timur Tengah yang tergabung dalam "Al-Lajnah Ad-Da’imah" (Lembaga Fatwa).

* Soal Pertama: Hukum Shoalat di Belakang Perokok

Suatu fenomena yang sering kita jumpai di lapangan, adanya sebagian imam yang biasa memimpin kaum muslimin dalam mendirikan sholat. Padahal ia adalah seorang yang tercandu rokok. Hal ini pernah ditanyakan oleh sebagian kaum muslimin kepada para ulama tentang sikap kita.

Seorang penanya berkata, "Bolehkah sholat di belakang seorang imam yang suka merokok. Perlu diketahui bahwa imam ini bukan imam tetap, bahkan ia hanya memimpin sholat jama’ah, karena Cuma ia yang pintar membaca Al-Qur’an di antara jama’ah yang ada di sekitar masjid?"

Para ulama tersebut menjawab, "Merokok adalah haram, karena telah terbukti bahwa membahayakan kesehatan, dan termasuk sesuatu yang khobits (buruk lagi menjijikkan), serta bentuk pemborosan. Allah sungguh telah menyifati Nabi-Nya –Shollallahu alaihi wa sallam-,

"…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…". (QS. Al-A’raaf: 157)

Adapun hukum sholat di belakang; jika karena seorang tidak sholat di belakangnya lalu menimbulkan luputnya sholat jumat atau sholat jama’ah atau muncul masalah (antara jama’ah), maka wajib sholat di belakangnya, demi mendahulukan mudhorot yang lebih ringan atas mudhorot yang lebih besar. Jika ada sebagian orang yang tidak sholat di belakangnya , sedang ia tidak khawatir luputnya sholat jumat atau jama’ah atau tidak muncul mudhorot (masalah dan perseteruan), tapi mengakibatkan tercegah dan berhentinya ia merokok, maka wajib untuk tidak sholat di belakangnya sebagai kecaman baginya dan dorongan baginya dalam meninggalkan sesuatu yang diharamkan baginya (yakni, merokok). Demikian itu termasuk bagi mengingkari kemungkaran. Jika kita meninggalkan sholat di belakang, tidak menimbulkan mudhorot, tidak luput dari sholat jumat dan jama’ah, serta tidak bergeming dengan hal itu, maka sikap paling utama, memilih sholat di belakang orang yang tidak serupa dengannya dalam hal kefasikan dan maksiat. Demikian itu lebih sempurna bagi sholatnya, dan lebih menjaga agamanya. Wabillahit taufiq, wa shollallahu ala Nabiyyina wa alihi wa shohbihi wa sallam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (9/408-409)]

* Soal Kedua: Hukum Penjual Rokok

Sebagian kaum muslimin yang memiliki profesi dagang, biasa menjual rokok, karena banyaknya keuntungan yang bisa diraup dari hasil penjualan, apalagi jika ada diskon dari perusahaan rokok.

Sekarang ada baiknya kita mendengarkan seorang penanya berkata, "Apa hukum Islam tentang orang menjual rokok yang dijual karena adanya keringanan (diskon) dari arah perusahaan rokok?"

Para ulama’ Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab, "Merokok adalah haram; menanam tembakau adalah haram; berdagang rokok adalah haram, karena pada rokok terdapat bahaya besar. Sungguh telah diriwayatkan dalam sebuah hadits,

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

"Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain". [HR. Ibnu Majah (2341)]

Rokok juga termasuk khoba’its (sesuatu yang busuk, jelek lagi menjijikkan). Sunnguh Allah -Ta’ala- telah berfirman tentang sifat Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam-,

"…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…". (QS. Al-A’raaf: 157)

Allah –Subhanahu- berfirman,

"Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik". Al-Ayat (QS. Al-Maa’idah: 4) [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/85-86)]

* Soal Ketiga: Hukum Menjual Rokok karena Perintah Orang Tua

Terkadang ada sebagian orang telah mengenal haramnya merokok dan menjual rokok. Namun ia bingung ketika ia diperintahkan oleh orang tuanya untuk menjual barang haram itu. Dia bingung, apakah ia mentaati Allah dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- ataukah ia mentaati orang tuanya?!

Seorang penanya pernah bertanya tentang menjual rokok karena adanya perintah dari orang tua. Apakah hal itu adalah udzur baginya?

Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab, "Merokok adalah haram, jual-beli rokok adalah haram, walaupun hal itu terjadi atas perintah dari orang tua atau selainnya, karena adanya hadits dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda,

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

"Sama sekali tak ada ketaatan kepada seorang makhluk dalam bermaksiat kepada Yang Maha Pencipta -Azza wa Jalla-". [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1041)]

Beliau juga bersabda,

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

"Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf". (HR. Al-Bukhoriy & Muslim) [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/113)]

* Soal Keempat: Hukum Menanam Tembakau

Diantara sebab utama banyaknya produksi, karena adanya ta’awun (kerja sama) antara pedagang dengan petani tembakau. Para petani itu terkadang merasa bahwa ia tidak terkena dosa jika ia menanam tembakau. Sebab ia beralasan bahwa bukan mereka yang membuat rokok, tapi para pemilik perusahaan rokok.

Benarkah para petani tidak terkena dosa; dalam artian bahwa pekerjaannya tidak haram??! Kini ada baiknya kita simak seorang penanya pernah berkata, "Bagaimana hukum Islam tentang tentang menanam tembakau dan harta yang dikumpulkan oleh para petani tembakau dari hasil penjualan tembakau tersebut?"

Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab, "Tidak boleh menanam tembakau, menjual, dan menggunakannya, karena rokok haram dari beberapa sisi; karena beberapa madhorot (bahaya)nya yang besar dari sisi kesehatan, karena keburukannya, tidak ada faedahnya. Wajib bagi seorang muslim untuk meninggalkannya, menjauhinya, tidak menanamnya dan tidak pula memperdagangkannya, karena jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan harganya, Wallahu A’lam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/120)]

* Soal Kelima: Wajib Bertaubat dari Rokok

Ada diantara kita yang menyangka bahwa merokok bukan dosa sehingga ia menyangka bahwa dirinya tak perlu bertaubat dari perbuatannya tersebut. Tapi demikiankah halnya. Biar anda tahu tingkat kekeliruan sangkaan batil itu, dengar Seorang penanya berkata, "Bagaimana hukum syari’at tentang penjual rokok dengan berbagai macam jenisnya? Saya adalah seorang perokok; saat aku mendengarkan tukang adzan, maka aku masuk masjid. Apakah wajib bagiku mengulangi wudhu’ ataukah berkumur-kumur cukup bagiku? Aku sebenarnya tahu bahwa rokok menyebabkan berbagai macam penyakit".

Para ulama besar dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Syaikh Abdul bin Baaz memberikan jawaban, "Haram menjual rokok, karena keburukannya, dan bahayanya yang banyak. Sedang si perokok dianggap fasiq. Tidak wajib mengulangi wudhu’ karena merokok. Tapi disyari’atkan baginya menghilangkan bau yang tak sedap dari mulutnya dengan sesuatu yang bisa menghilangkannya; di samping ia wajib segera bertaubat kepada Allah dari rokok. Wabillahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyina wa alihi wa shohbihi wa sallam". [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Ifta' (15/114)]

Inilah beberapa buah petikan fatwa ilmiah dari para ulama besar kita di zaman ini. Mereka menjelaskan haramnya merokok, menjual rokok, menanam tembakau, dan segala hal yang mendukung perbuatan maksiat ini, yakni merokok. Sedang Allah -Ta’ala- melarang kita bekerjasama dan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan dalam firman-Nya,

"Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah". (QS. Al-Maa’idah: 2)

Faedah : Sebagian orang terkadang berceloteh bahwa rokok tidak haram sebab tidak ada kata "rokok" dan larangannya dalam Al-Qur’an sehingga mereka menyangka bahwa merokok tidak diharamkan. Padahal sebenarnya banyak dalil-dalil dalam Al-’Qur’an yang mengandung kaedah-kaedah yang memastikan haramnya rokok. Tapi kedangkalan ilmu orang-orang yang berusaha menghalalkan rokok, menyebabkan mereka tidak dapat menemukan dalil-dalil tersebut. Hal ini mengingatkan kami dengan sebuah kisah dari Masruq bin Al-Ajda’ saat ia berkata, " Ada seorang wanita yang pernah datang kepada Ibnu Mas’ud seraya berkata, "Aku telah dikabari bahwa Anda melarang wanita dari menyambung rambut (memakai rambut palsu)? Ibnu Mas’ud menjawab, "Benar". Wanita itu bertanya, "Apakah hal itu Anda dapatkan dalam Kitabullah ataukah Anda pernah mendengarnya dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Ibnu Mas’ud berkata, "Aku telah mendapatkannya dalam Kitabullah dan dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Wanita itu berkata, "Demi Allah, sungguh aku telah membolak-balik diantara dua lembar (cover) mushaf, tapi aku tak menemukan di dalamnya sesuatu yang anda nyatakan". Ibnu Mas’ud berkata, "Apakah engkau menemukan (s ebuah ayat) di dalam mushaf (yang berbunyi):

"Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka terimalah,. dan apa saja yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah". (QS. Al-Hasyr: 7)

Wanita itu menjawab, "Ya". [HR. Ahmad (3749). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah Al-Marom (93)]

Memakai rambut palsu tak ada dalil yang mengandung lafazh larangannya dalam Kitabullah, tapi dalil-dalil yang melarang hal tersebut secara tersirat terdapat dalam Kitabullah, sebab menyambung rambut alias menggunakan rambut palsu termasuk bentuk penipuan dan kedustaan. Sedang larangan berdusta dan menipu banyak di dalam Al-Qur’an. Demikian pula rokok, memang tak ada kata dan lafazh "rokok" dalam Al-Qur’an. Tapi larangan tersebut sebenarnya ada secara tersirat, sebab rokok termasuk perbuatan tabdzir (menghambur harta), membahayakan diri, mengganggu orang lain, menzholimi diri dan orang lain, suatu sebab besar orang mengidap penyakit, bahkan penyebab kematian!! Bukankah di dalam Al-Qur’an terdapat larangan tabdzir, membahayakan diri, mengganggu orang lain, menzholimi diri dan orang lain, membunuh diri sendiri?! Jawabnya, "Jelas ada!!". Jadi, nyatalah keharaman rokok berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 110 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/artikel-islam/fiqh/siapa-bilang-rokok-haram.html#more-669
http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1623

Rabu, 11 November 2009

Mengapa Saya Keluar dari Wahdah Islamiyah?
Senin, 02-November-2009, Penulis: Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray

 Mengapa Saya Keluar  dari Wahdah Islamiyah?
Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray
(Mantan Kader & Da’i Wahdah Islamiyah Makassar)
-حفظه الله تعالى وغفر له ولوالديه ولجميع المسلمين-

Editor : Al-Ustadz Abdul Qodir
Muroja’ah : Al-Ustadz Dzulqarnain

Pada risalah ringkas ini -Insya Allah- saya akan menjelaskan latar belakang kenapa saya keluar dari Wahdah Islamiyah (WI) yang berpusat di Makassar. Dengan harapan, semoga yang sedikit ini bisa menjadi nasehat kepada mereka yang masih setia bersama WI secara khusus, dan kepada kaum Muslimin secara umum.

Namun risalah yang ringkas ini bukanlah sebuah rincian ilmiah yang disertai dalil-dalil dan penjelasan para ulama tentang penyimpangan-penyimpangan WI. Tetapi hanyalah merupakan pengungkapan bukti-bukti yang dilihat oleh mata kepala dan didengar oleh telinga, baik itu berupa penyimpangan itu sendiri, maupun sekedar syawahid (penguat)nya. Sebab rincian pembahasan ilmiahnya telah sangat jelas dipaparkan oleh beberapa asatidzah (para ustadz). Diantaranya:

   1. Nasehat Ilmiah tentang Kesesatan Wahdah Islamiyah, Al-Ustadz Dzulqarnain
   2. Bantahan Manhaj Muwazanah, Al-Ustadz Abu Karimah Askari
   3. Bantahan Istidlal Manhaj Muwazanah, Al-Ustadz Luqman Jamal, Lc
   4. Bantahan kepada Ust. Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc, oleh Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qodir, Lc
   5. Bantahan kepada Ust. Jahada Mangka, Lc, oleh Al-Ustadz Abu Fa’izah Abdul Qodir, Lc

Sampai hari ini, saya masih mengira sebagian besar Asatidzah WI belum mendengarkan, atau membaca -secara seksama- penjelasan dari asatidzah Salafiyyin di atas. Karena saya berprasangka baik -Insya Allah-, apabila mereka mencoba memahami dengan baik argumen-argumen ilmiah yang ada dalam nasehat-nasehat tersebut, maka -Insya Allah- mereka akan mengakui kebenarannya[1].

Risalah ringkas ini sekedar mengingatkan beberapa perkara.

    * Pertama, penyimpangan-penyimpangan dalam tubuh WI yang diingatkan oleh asatidzah Salafiyin adalah benar-benar ada.
    * Kedua, para anggota dan simpatisan WI –semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepadaku dan kepada kalian semuanya- hendaklah mendengarkan atau membaca dengan seksama dan penuh kejujuran semua argumen-argumen ilmiah yang ada dalam nasehat-nasehat saudara kalian (asatidzah Salafiyin), yang menginginkan keselamatan kalian –Insya Allah-.

Sebelumnya, perlu saya tekankan bahwa ini merupakan nasehat -Insya Allah-; tidak ada yang saya inginkan kecuali perbaikan sesuai yang saya mampu. Sebab diantara syubhat kalangan WI ketika ada orang yang menasehati mereka, mereka akan membantahnya pertama kali dengan menyalahkan cara menasehatinya dan membesar-besarkan perkara ini kepada anggota-anggotanya. Diantara bentuknya:

    * Pertama : Perkataan mereka, "Tidak boleh membeberkan penyimpangan-penyimpangan WI secara terang-terangan, sebab itu artinya ghibah dan membuka aib saudara sendiri".

Jawab :

    * Sebagaimana telah dimaklumi dari penjelasan para Ulama, diantaranya al-Imam an-Nawawirahimahullah dalam kitabnya Riyadhus Shalihin[2], bahwa ghibah tidak semuanya terlarang. Ghibah untuk membongkar penyimpangan suatu kaum agar mereka meninggalkan penyimpangan tersebut bukanlah ghibah yang terlarang. Kalau pun mereka tidak meninggalkannya, maka itu menjadi nasehat kepada kaum muslimin agar berhati-hati dengan kaum tersebut serta penyimpangan yang ada pada mereka.
    * Ketika penyimpangan-penyimpangan tersebut telah tersebar luas, bahkan sebagiannya tersebar melalui media internet dan lainnya, maka perlu untuk menyingkap penyimpangan-penyimpangan tersebut juga secara luas agar lebih merata penyampaiannya.

    * Kedua : Perkataan mereka, "Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat antara WI dan Salafy, yang ada hanya beda pendapatan".

Jawab:

   1. Perkataan ini adalah akhlaq yang tidak terpuji, karena berprasangka buruk dan mengandung tuduhan jelek kepada saudara sesama muslim.
   2. Seorang Salafy sejati -Insya Allah- dalam nasehatnya tidaklah menginginkan dunia dari WI dan lainnya, serta tidak pula ingin seperti WI atau melebihi WI dalam hal keduniaan ketika menasehati WI.
   3. Insya Allah , saya akan menjelaskan diantara perbedaan WI dengan Salafy, yang menjadi sebab kenapa saya keluar dari WI

    * Ketiga : Perkataan mereka, "Dengan membeberkan kepada publik penyimpangan-penyimpangan yang ada pada WI agar masyarakat menjauhinya, berarti Anda telah berbuat zhalim kepada WI, apalagi Anda pernah menjadi santri di WI".[3]

Jawab:

Justru sebaliknya, ketika saya menyampaikan nasehat ini dengan terang-terangan kepada publik, maka sungguh -insya Allah- ini menunjukkan kecintaan saya kepada WI, khususnya para asatidzah yang pernah membimbing saya dalam mengenal dasar-dasar kewajiban berpegang teguh dengan agama[4].

Di sini saya ingin membalik dan mengubah logika yang selama ini umumnya diyakini oleh orang-orang WI, yaitu bahwa menyingkap penyimpangan-penyimpangan seseorang adalah kezhaliman terhadapnya. Padahal justru itulah hakekat kecintaan seorang muslim kepada saudaranya, karena seorang muslim tidak akan diam melihat saudaranya terus dalam penyimpangan yang mengakibatkan murka Allah atasnya. Demikian pula, apabila semakin banyak yang mengikuti penyimpangan tersebut, maka semakin besar pula beban dosa yang ditanggungnya. Jadi, mengingatkan penyimpangan dan kesalahannya agar dosanya tidak menumpuk merupakan bentuk kecintaan hakiki seorang muslim kepada muslim lainnya.

Dari sini akan nampak kedalaman pemahaman Salaful Ummah. Saat para ulama salaf mengingatkan penyimpangan para ahli bid’ah, mereka memahami dan menyadari bahwa peringatan itu adalah bentuk nushroh (pertolongan)[5], dan mahabbah (kecintaan) mereka kepada orang-orang yang diingatkan dan umat itu sendiri sebagaimana dalam atsar-atsar berikut:

Abu Shalih al-Farra’ -rahimahullah- berkata, "Aku menceritakan kepada Yusuf bin Asbath tentang Waki’ bahwasannya beliau terpengaruh sedikit dengan perkara fitnah ini" [6]. Maka dia (Yusuf bin Asbath) berkata, "Dia serupa dengan gurunya –yaitu Shalih bin Hay-". Aku pun berkata kepada Yusuf, "Apakah kamu tidak takut perkataanmu ini merupakan ghibah?" Beliau menjawab, "Kenapa begitu wahai orang dungu, justru saya lebih baik bagi mereka dibanding ibu dan bapak mereka sendiri; saya melarang manusia dari mengamalkan kebid’ahan mereka karena bisa mengakibatkan semakin banyaknya dosa-dosa para pengajak kepada bid’ah tersebut, adapun yang memuji mereka justru lebih membahayakan mereka”. [Lihat At-Tahdzib 2/249 no. 516 sebagaimana dalam Lamud Durril Mantsur Minal Qoulil Ma’tsur, karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan al-Haritsiy, Muraja’ah : As-Syaikh Sholih Al-Fauzan –hafizhahullah-, (hal. 27)]

Demikianlah diantara syubhat WI, semoga bisa dipahami jawabannya dengan baik, meskipun hanya ringkas.

    * Lalu mengapa saya keluar dari WI ?

Tentu jawabannya sudah bisa diketahui, yaitu karena adanya penyimpangan-penyimpangan dari manhaj Salaf, Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam tubuh WI. Dengan perkara tersebut, teramat sulit untuk mengkategorikan WI sebagai Jam’iyyah Salafiyyah Sunniyyah. Sebab Ahlus Sunnah dikenal dengan prinsip-prinsip mereka sebagaimana pula ahlul bid’ah dikenal karena penyimpangan mereka dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah.

    * Apakah itu berarti saya mengatakan bahwa WI itu ahlul bid’ah ?

Jawab : Bukan hak saya mengatakan itu, tetapi hak para ulama ataupun asatidzah yang benar-benar mendalam ilmunya.

    * Kalau begitu haruskah saya keluar dari WI ?

Jawab : Karena saya khawatir –meskipun saya tidak memastikannya- jangan sampai WI termasuk dalam 72 golongan ahlul bid’ah yang ke neraka -wal ‘iyadzu billah-, maka saya pun keluar dari WI, sebab mengingat beberapa perkara dan pertimbangan yang kami akan sebutkan.

Pertama, adanya penyimpangan-penyimpangan dari manhaj al-Firqotun Najiyah (satu golongan yang selamat ke surga) dalam dakwah WI.

Kedua, hampir seluruh –kalau saya tidak salah ingat mungkin seluruhnya- yang menisbatkan diri kepada manhaj Salaf di negeri ini selain WI yang mengenal WI dan pernah saya temui, baik yang membolehkan ta’awun dengan Jam’iyyahIhyaut Turots al-Kuwaitiyyah maupun yang tidak membolehkannya, baik alumni Madinah maupun Yaman dan lainnya, semuanya men-tahdzir dari WI. Sehingga dengan taufik dari Allah -Ta’ala-, pada tahun 2007 saya mulai mempelajari tentang WI dan mempelajari manhaj Salaf dari asatidzah selain dari WI. Akhirnya dengan penuh keyakinan saya memutuskan berlepas diri dari WI.

====================
Footnote :
===================

[1] Diantara alasan kenapa saya masih menyangka dengan sangkaan yang kuat bahwa kebanyakan orang-orang WI belum mendengarkan atau membaca dengan seksama nasehat-nasehat Asatidzah Salafiyin adalah karena: 1) belum ada perubahan atau rujuk dari keseluruhan penyimpangan tersebut, kecuali orang-orang yang mendapat hidayah –insya Allah Ta’ala-, 2) masih membantah dengan alasan-alasan yang sebenarnya sudah terbantah, seperti ucapan mereka bahwa Al-Ustadz Dzulqarnain mempermasalahkan tingkatan (tadrij) dalam tarbiyah WI, padahal sudah ada penjelasannya dalam CD Nasehat Ilmiah pada bagian Tanya Jawab, bahwa yang Beliau kritik sebenarnya bukan masalah tingkatannya tetapi dalam mengatur tingkatan tersebut WI mendasarkan pada kadar loyalitas kader kepada WI, dan saya memiliki pengalaman pribadi yang berhubungan dengan ini, contoh lain: WI selalu menggembar-gemborkan bahwa asatidzah Salafiyin takut untuk berdialog dengan WI, padahal ada alasan-alasan syar’i kenapa asatidzah Salafiyin tidak mau melakukan itu dan telah dijelaskan secara detail dalam CD Nasehat Ilmiah pada bagian pembukaan. Contoh lain lagi: mereka masih terus menyebut Salafy di Makassar dengan istilah Manis, padahal dalam CD yang sama pada bagian Tanya Jawab, Al-Ustadz Dzulqarnain juga telah menjelaskan bahwa penyebutan Manis tidak pernah diridhoi oleh pihak Salafy (dan ini juga menyerupai tashnif yang mereka cela).

Namun masih ada kejanggalan, apakah memang mereka belum tahu bahwa ucapan-ucapan mereka telah terbantah, ataukah mereka telah tahu namun hanya ingin melakukan talbis, sebab CD dan makalah tentang kritikan terhadap WI dengan mudahnya bisa didapatkan, wallahu a’lam.

[2] al-Imam an-Nawawy –rahimahullah- berkata,

باب مَا يباح من الغيبة

اعْلَمْ أنَّ الغِيبَةَ تُبَاحُ لِغَرَضٍ صَحيحٍ شَرْعِيٍّ لا يُمْكِنُ الوُصُولُ إِلَيْهِ إِلاَّ بِهَا ، وَهُوَ سِتَّةُ أسْبَابٍ :

الأَوَّلُ : التَّظَلُّمُ ، فَيَجُوزُ لِلمَظْلُومِ أنْ يَتَظَلَّمَ إِلَى السُّلْطَانِ والقَاضِي وغَيرِهِما مِمَّنْ لَهُ وِلاَيَةٌ ، أَوْ قُدْرَةٌ عَلَى إنْصَافِهِ مِنْ ظَالِمِهِ ، فيقول : ظَلَمَنِي فُلاَنٌ بكذا .

الثَّاني : الاسْتِعانَةُ عَلَى تَغْيِيرِ المُنْكَرِ ، وَرَدِّ العَاصِي إِلَى الصَّوابِ ، فيقولُ لِمَنْ يَرْجُو قُدْرَتهُ عَلَى إزالَةِ المُنْكَرِ : فُلانٌ يَعْمَلُ كَذا ، فازْجُرْهُ عَنْهُ ونحو ذَلِكَ ويكونُ مَقْصُودُهُ التَّوَصُّلُ إِلَى إزالَةِ المُنْكَرِ ، فَإنْ لَمْ يَقْصِدْ ذَلِكَ كَانَ حَرَاماً .

الثَّالِثُ : الاسْتِفْتَاءُ ، فيقُولُ لِلمُفْتِي : ظَلَمَنِي أَبي أَوْ أخي ، أَوْ زوجي ، أَوْ فُلانٌ بكَذَا فَهَلْ لَهُ ذَلِكَ ؟ وَمَا طَريقي في الخلاصِ مِنْهُ ، وتَحْصيلِ حَقِّي ، وَدَفْعِ الظُّلْمِ ؟ وَنَحْو ذَلِكَ ، فهذا جَائِزٌ لِلْحَاجَةِ ، ولكِنَّ الأحْوطَ والأفضَلَ أنْ يقول : مَا تقولُ في رَجُلٍ أَوْ شَخْصٍ ، أَوْ زَوْجٍ ، كَانَ مِنْ أمْرِهِ كذا ؟ فَإنَّهُ يَحْصُلُ بِهِ الغَرَضُ مِنْ غَيرِ تَعْيينٍ ، وَمَعَ ذَلِكَ ، فالتَّعْيينُ جَائِزٌ كَمَا سَنَذْكُرُهُ في حَدِيثِ هِنْدٍ إنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى .

الرَّابعُ : تَحْذِيرُ المُسْلِمينَ مِنَ الشَّرِّ وَنَصِيحَتُهُمْ ، وذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ :

مِنْهَا جَرْحُ المَجْرُوحينَ مِنَ الرُّواةِ والشُّهُودِ وذلكَ جَائِزٌ بإجْمَاعِ المُسْلِمينَ ، بَلْ وَاجِبٌ للْحَاجَةِ .

ومنها : المُشَاوَرَةُ في مُصاهَرَةِ إنْسانٍ أو مُشاركتِهِ ، أَوْ إيداعِهِ ، أَوْ مُعامَلَتِهِ ، أَوْ غيرِ ذَلِكَ ، أَوْ مُجَاوَرَتِهِ ، ويجبُ عَلَى المُشَاوَرِ أنْ لا يُخْفِيَ حَالَهُ ، بَلْ يَذْكُرُ المَسَاوِئَ الَّتي فِيهِ بِنِيَّةِ النَّصيحَةِ

ومنها : إِذَا رأى مُتَفَقِّهاً يَتَرَدَّدُ إِلَى مُبْتَدِعٍ ، أَوْ فَاسِقٍ يَأَخُذُ عَنْهُ العِلْمَ ، وخَافَ أنْ يَتَضَرَّرَ المُتَفَقِّهُ بِذَلِكَ ، فَعَلَيْهِ نَصِيحَتُهُ بِبَيانِ حَالِهِ ، بِشَرْطِ أنْ يَقْصِدَ النَّصِيحَةَ ، وَهَذا مِمَّا يُغلَطُ فِيهِ . وَقَدْ يَحمِلُ المُتَكَلِّمَ بِذلِكَ الحَسَدُ ، وَيُلَبِّسُ الشَّيطانُ عَلَيْهِ ذَلِكَ ، ويُخَيْلُ إِلَيْهِ أنَّهُ نَصِيحَةٌ فَليُتَفَطَّنْ لِذلِكَ.

وَمِنها : أنْ يكونَ لَهُ وِلايَةٌ لا يقومُ بِهَا عَلَى وَجْهِها : إمَّا بِأنْ لا يكونَ صَالِحاً لَهَا ، وإما بِأنْ يكونَ فَاسِقاً ، أَوْ مُغَفَّلاً ، وَنَحوَ ذَلِكَ فَيَجِبُ ذِكْرُ ذَلِكَ لِمَنْ لَهُ عَلَيْهِ ولايةٌ عامَّةٌ لِيُزيلَهُ ، وَيُوَلِّيَ مَنْ يُصْلحُ ، أَوْ يَعْلَمَ ذَلِكَ مِنْهُ لِيُعَامِلَهُ بِمُقْتَضَى حالِهِ ، وَلاَ يَغْتَرَّ بِهِ ، وأنْ يَسْعَى في أنْ يَحُثَّهُ عَلَى الاسْتِقَامَةِ أَوْ يَسْتَبْدِلَ بِهِ .

الخامِسُ : أنْ يَكُونَ مُجَاهِراً بِفِسْقِهِ أَوْ بِدْعَتِهِ كالمُجَاهِرِ بِشُرْبِ الخَمْرِ ، ومُصَادَرَةِ النَّاسِ ، وأَخْذِ المَكْسِ ، وجِبَايَةِ الأمْوَالِ ظُلْماً ، وَتَوَلِّي الأمُورِ الباطِلَةِ ، فَيَجُوزُ ذِكْرُهُ بِمَا يُجَاهِرُ بِهِ ، وَيَحْرُمُ ذِكْرُهُ بِغَيْرِهِ مِنَ العُيُوبِ ، إِلاَّ أنْ يكونَ لِجَوازِهِ سَبَبٌ آخَرُ مِمَّا ذَكَرْنَاهُ .

السَّادِسُ : التعرِيفُ ، فإذا كَانَ الإنْسانُ مَعْرُوفاً بِلَقَبٍ ، كالأعْمَشِ ، والأعرَجِ ، والأَصَمِّ ، والأعْمى ، والأحْوَلِ ، وغَيْرِهِمْ جاز تَعْرِيفُهُمْ بذلِكَ ، وَيَحْرُمُ إطْلاقُهُ عَلَى جِهَةِ التَّنْقِيصِ ، ولو أمكَنَ تَعْريفُهُ بِغَيرِ ذَلِكَ كَانَ أوْلَى ، فهذه ستَّةُ أسبابٍ ذَكَرَهَا العُلَمَاءُ وأكثَرُها مُجْمَعٌ عَلَيْهِ ، وَدَلائِلُهَا مِنَ الأحادِيثِ الصَّحيحَةِ مشهورَةٌ .

(dari Al-Maktabah Asy-Syaamilah).

[3] Kalimat yang saya tebalkan adalah perkiraan kemungkinan yang akan dikatakan kepada saya setelah mengeluarkan risalah ringkas ini, wallahu A’lam.

[4] Walaupun telah kita ketahui bersama bahwa pada sebagian bimbingan itu terdapat penyimpangan. [ed]

[5] Sehingga mereka selamat dari kezhalimannya. [ed]

[6] Yaitu fitnah Khawarij
http://almakassari.com/artikel-islam/manhaj/mengapa-saya-keluar-dari-wahdah-islamiyah-muqaddimah.html
Bantahan Bagi Yang Menjadikan Jeddah sebagai Miqat
Ahad, 08-November-2009, Penulis: Al-‘Allamah Al-Muhaddits Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz

Bantahan terhadap Pihak yang Menyatakan Bahwa Jeddah adalah Miqat bagi Jama’ah Haji atau ‘Umrah yang Datang Melaluinya

Al-‘Allamah Al-Muhaddits Samahatusy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz

(Mufti Agung Kerajaan Arab Saudi, Ketua Hai`ah Kibaril ‘Ulama, dan Ketua Al-Lajnah Ad-Da`imah Lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta` Kerajaan Saudi ‘Arabia)

Banyak jama’ah haji atau umrah yang melakukan kesalahan fatal, yaitu berihram tidak dari miqat, namun dari Jeddah. Kesalahan fatal ini juga banyak dilakukan oleh para jama’ah haji dari Indonesia, terutama kloter-kloter terakhir yang langsung menuju Makkah melalui Bandara King Abdul Aziz - Jeddah. Sangat disesalkan, mereka tidak berihram sejak di pesawat ketika melintasi Yalamlam, namun berihram dari Jeddah!

Sebagai bentuk nasehat dan penjelasan bagi para jama’ah haji, terkhusus para jama’ah haji Indonesia yang bermiqat di Yalamlam, kami hadirkan kepada pembaca penjelasan dari Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah. Dengan penuh hikmah beliau mengingatkan para jama’ah haji dengan bimbingan dari Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan merujuk kepada bimbingan para ‘ulama salaf. (red)

————-

الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ، وبعد :

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan Miqat-Miqat untuk berihram, tidak boleh bagi yang berniat hendak berhaji atau berumrah melewati/melintasi miqat tanpa berihram darinya.

Miqat-miqat tersebut adalah :

-          Dzulhulaifah (Abyar ‘Ali/Bir Ali) : Untuk penduduk Madinah dan siapapun yang datang melalui jalan mereka.

-          Al-Juhfah : Untuk penduduk Syam, Mesir, Maroko, dan siapapun yang datang melalui jalan mereka.

-          Yalamlam (As-Sa’diyyah) : Untuk penduduk Yaman dan siapapun yang datang melalui  jalan mereka.

-          Qarnul Manazil (As-Sail Al-Kabir) : Untuk penduduk Najd dan daerah timur, dan siapapun yang datang dari jalan mereka.

-          Dzatu ‘Irq : Untuk penduduk Iraq dan siapapun yang datang melalui jalan mereka.

Adapun orang-orang yang tempat tinggal/rumahnya berada sebelum miqat-miqat tersebut jika diukur dari Makkah, maka dia berihram dari rumahnya tersebut. Bahkan penduduk Makkah sekalipun mereka berihram haji dari Makkah. Adapun untuk umrah, maka mereka berihram dari kawasan tanah halal (di luar tanah haram) terdekat.

Barangsiapa yang melewati/melintas miqat-miqat di atas menuju Makkah, namun ia tidak berniat untuk haji atau pun umrah, maka dia tidak harus berihram menurut pendapat yang benar. Namun jika tiba-tiba ia berniat haji atau umrah setelah lewat dari miqat, maka ia berihram di tempat yang ia berniat haji atau umrah tersebut. Kecuali jika ia berniat umrah namun sudah berada di Makkah, maka ia keluar ke kawasan tanah halal terdekat, sebagaimana penjelasan di atas.

Berihram wajib dilakukan dari miqat-miqat tersebut bagi siapapun yang melewati/melintasi miqat atau sejajar dengannya, baik datang dari darat, laut, maupun udara dan ia berniat haji atau umrah.

Yang mendorong disebarkannya penjelasan ini, bahwa telah terbit pada hari-hari ini sebuah kitab kecil berjudul, “Dalil-dalil Yang Menetapkan bahwa Jeddah adalah Miqat.” Penulisnya berupaya dalam kitab kecil tersebut untuk membuat miqat tambahan terhadap miqat-miqat yang telah ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penulisnya beranggapan bahwa Jeddah merupakan miqat bagi Jama’ah Haji/umrah yang datang dengan pesawat ke Bandara Jeddah, atau jama’ah haji/umrah yang datang ke Jeddah melalui laut ataupun jalan darat. Mereka semua boleh mengakhirkan ihramnya sampai ke Jeddah, baru setelah itu boleh berihram dari Jeddah. Karena menurutnya Jeddah sejajar dengan dua miqat, yaitu As-Sa’diyyah dan Juhfah. Sehingga Jeddah bisa menjadi miqat.

Ini merupakan kesalahan yang sangat jelas. Setiap orang yang tahu dan berilmu tentang realita yang ada tahu akan kesalahan yang sangat jelas ini. Karena Jeddah terletak setelah miqat, dan orang yang datang ke Jeddah pasti sudah melewati/melintasi salah satu miqat dari miqat-miqat yang telah ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau melewati tempat-tempat yang sejajar dengan miqat, baik datang melalui darat, laut, maupun udara. Mereka tidak boleh melintasi miqat tanpa berihram, jika berniat haji atau umrah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menetapkan miqat-miqat tersebut :

« هن لهن ولمن أتى عليهن من غير أهلهن ممن يريد الحج أو العمرة »

Miqat-miqat tersebut adalah untuk penduduknya dan orang-orang selain penduduknya yang datang melaluinya, dari orang-orang yang hendak berhaji atau berumrah. (Al-Bukhari 1456, Muslim 1181)

Maka tidak boleh bagi seorang yang akan berhaji atau berumrah untuk melintasi miqat-miqat tersebut menuju Jeddah tanpa berihram, kemudian baru berihram dari Jeddah. Karena Jeddah sudah berada dalam (setelah) miqat.

Tatkala sebagian ‘ulama melakukan kecerobohan sejak beberapa tahun lalu seperti kecerobohan penulis kitab kecil ini, yaitu berfatwa bahwa Jeddah merupakan miqat bagi jamaah yang datang ke Jeddah, maka Hai`ah Kibaril ‘Ulama menerbitkan ketetapan yang berisi bantahan terhadap anggapan tersebut dan menyalahkannya. Isi ketetapannya sebagai berikut :

“Setelah kembali kepada dalil-dalil (Al-Qur`an dan As-Sunnah) dan penjelasan para ‘ulama tentang miqat makaniyyah serta mendiskusikan permasalahan tersebut dari berbagai sisi, maka Majelis sepakat menetapkan sebagai berikut :

   1. Fatwa yang menyatakan boleh menjadikan Jeddah sebagai miqat bagi para jama’ah yang datang dengan pesawat udara atau dengan kapal laut merupakan fatwa batil, karena tidak memiliki landasan dalil dari Al-Qur`an, sunnah Rasulullah, maupun ijma’/kesepakatan para salaful ummah. Dan sebelumnya tidak pernah ada seorang pun dari ‘ulama kaum muslimin yang diperhitungkan pendapatnya, yang berfatwa demikian.
   2. Tidak boleh seorang pun yang melewati salah satu miqat makaniyyah atau sejajar dengan salah satu miqat, baik melalui udara, darat, maupun laut, untuk melaluinya tanpa berihram. Sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil dan sebagaimana ditetapkan oleh para ‘ulama rahimahumullah.

Dalam rangka menunaikan kewajiban menyampaikan nasehat kepada hamba-hamba Allah, maka aku dan anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` memandang perlu untuk menerbitkan penjelasan ini, agar tidak ada seorang pun yang tertipu dengan kitab kecil tersebut.”

هذا وبالله التوفيق ، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه

(diterbitkan oleh Kantor Asy-Syaikh bin Baz, di harian “An-Nadwah” edisi 11.064 tanggal 19-11-1415 H, harian “Al-Muslimun” edisi 533 tanggal 21-11-1415 H, dan harian-harian setempat lainnya. Tercatat dalam Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XVII/30-33)

———

Penjelasan tentang Kesalahan
Menjadikan Jeddah sebagai Miqat Bagi Para Jama’ah Haji
yang Datang Melalui Udara dan Laut

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه أما بعد

Aku telah membaca tulisan di At-Taqwim Al-Qathri oleh Fadhilatusy Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim Al-Anshari hal. 95-96, tentang miqat bagi para jama’ah yang datang ke Makkah dengan niat Haji atau ‘Umrah. Maka aku dapati dia benar dalam beberapa hal, dan salah di beberapa tempat lainnya dengan kesalahan yang sangat fatal.

Maka aku memandang termasuk bentuk nasehat karena Allah terhadap hamba-hamba-Nya adalah memberikan peringatan/teguran atas hal-hal yang dia salah padanya. Dengan harapan setelah dia membaca peringatan/teguran ini dia akan bertaubat dari kesalahannya dan rujuk/kembali kepada kebenaran. Karena rujuk kepada kebenaran merupakan keutamaan dan kemuliaan, serta lebih baik daripada bersikukuh di atas kebatilan. Bahkan sikap tersebut merupakan kewajiban, tidak boleh ditinggalkan. Karena kebenaran itu wajib untuk diikuti.

Maka aku katakan :

Pertama : Dia menyebutkan pada paragraf kedua tulisan, dengan redaksi sebagai berikut :

“Jama’ah yang datang lewat udara untuk menunaikan haji dan ‘umrah, apabila mereka berniat untuk tinggal di Jeddah walaupun sehari maka berlaku bagi mereka hukum orang yang bermukim dan tinggal di Jeddah, maka boleh bagi mereka berihram dari Jeddah.”

Ini adalah ucapan batil dan kesalahan besar, bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskan tentang miqat-miqat (untuk haji dan ‘umrah). Di samping juga bertentang dengan penjelasan para ‘ulama dalam masalah ini, bahkan bertentang dengan ucapan dia sendiri pada paraghraf pertama. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan miqat bagi kaum mukminin yang berniat haji dan ‘umrah dari segenap penjuru, dan beliau sama sekalin tidak menjadikan Jeddah sebagai Miqat bagi barangsiapa yang hendak menuju Makkah dari penjuru mana pun. Ini berlaku umum bagi semua yang datang ke Makkah melalu darat, laut, maupun udara. Pernyataan bahwa orang yang datang melalu jalur udara maka dia tidak melewati miqat, merupakan pernyataan yang batil, tidak ada landasan kebenarannya. Karena orang yang datang melalui jalan udara pun pasti juga melewati miqat yang telah ditentukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tempat yang sejajar dengannya. Maka ia pun wajib berihram dari miqat tersebut. Apabila tidak jelas baginya hal tersebut, maka ia harus berihram dari tempat yang ia yakini sejajar dengan miqat atau sebelumnya, supaya dia tidak melewati miqat dalam keadaan tidak berihram. Suatu yang telah diketahui, bahwa berihram sebelum miqat hukumnya sah. Hanyalah yang diperselisihkan itu apakah makruh ataukah tidak. Namun barangsiapa yang berihram sebelum miqat untuk berhati-hati, karena khawatir melewati miqat dalam keadaan tidak berihram, maka baginya tidak dimakruhkan. Adapun melewati miqat tanpa berihram maka itu haram dengan ijma’/kesepakatan, (berlaku) bagi setiap mukallaf yang hendak berhaji atau berumrah. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Abbas muttafaqun ‘alaih ketika beliau menentukan miqat :

« هن لهن ولمن أتى عليهن من غير أهلهن ممن كان يريد الحج والعمرة »

Miqat-miqat tersebut bagi orang-orang yang tinggal di situ dan bagi orang yang datang melewatinya yang bukan penduduknya, bagi siapa yang hendak berhaji dan ber’umrah. (Al-Bukhari 1525, Muslim 1181)

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Ibnu ‘Umar muttafaqun ‘alaihi :

« يهل أهل المدينة من ذي الحليفة ويهل أهل الشام من الجحفة وأهل نجد من قرن »

Penduduk Madinah bertalbiyah (yakni mulai berihram) dari Dzulhulaifah, penduduk Syam bertalbiyah dari al-Juhfah, dan penduduk Najd dari Qarn(ul Manazil). (Al-Bukhari 1525, Muslim 1182)

Lafazh ini menurut para ‘ulama adalah berita yang bermakna perintah. Maka tidak boleh menyelisihi perintah tersebut. Bahkan dalam sebagian riwayat datang dengan lafazh perintah, yaitu dengan lafazh : “Bertalbiyah-lah!”

Adapun pernyataan bahwa bagi yang berniat tinggal di Jeddah sehari atau sejam, yaitu orang yang datang ke Makkah melalui jalur Jeddah, maka baginya berlaku hukum penduduk Jeddah dalam hal kebolehan untuk berihram dari Jeddah, ini merupakan pernyataan yang tidak ada dasarnya, dan aku tidak mengetahui ada ‘ulama yang berpendapat demikian.

Maka wajib bagi orang yang berbicara atas nama Allah dan memberikan fatwa kepada umat tentang hukum-hukum syari’at untuk ia memastikan/meneliti (landasan) fatwa yang ia ucapkan dan hendaknya ia takut kepada Allah dalam masalah tersebut.

Karena berkata atas nama Allah tanpa landasan ilmu bahayanya sangat besar dan akibatnya sangat jelek. Allah telah menjadikan berkata atas Nama-Nya tanpa landasan ilmu sebagai tingkatan tertinggi keharamannya. Berdasarkan firman-Nya ‘Azza wa Jalla :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah (wahai Muhammad) : “Rabbku hanyalah mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) kalian berkata  terhadap Allah apa yang kalian tidak memiliki landasan ilmu.” (Al-A’raf : 33)

Pada ayat-Nya yang lain Allah memberitakan bahwa perbuatan tersebut (berkata atas nama Allah tanpa ilmu) merupakan di antara yang diperintahkan oleh syaithan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ * إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ *

“Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaithan, sesungguhnya dia (syaithan) adalah musuh yang nyata bagi kalian. hanyalah syaithan itu memerintahkan kalian dengan kejelekan, kekejian, dan berkata atas nama Allah tanpa ilmu.” (Al-Baqarah : 168-169)

Konsekuensi pendapat batil ini (yaitu boleh menjadikan Jeddah sebagai miqat), maka kalau seandainya orang berangkat dari Madinah menuju Makkah dengan niat haji atau ‘umrah, dan dia berniat bermukim di Jeddah satu jam saja, maka boleh baginya untuk mengakhirkan ihramnya sampai di Jeddah (padahal orang yang berangkat dari Madinah melewati miqat untuk penduduk Madinah, yang semestinya ia berihram dari miqat tersebut, bukan dari Jeddah, pentj).

Demikian juga orang yang berangkat ke Makkah dari Najd atau Tha`if dengan niat haji atau ‘umrah, dan dia berniat tinggal di daerah Lazimah atau Syara`i’ sehari atau sejam, maka boleh baginya melewati Qarnul Manazil (yang merupakan miqat bagi penduduk Najd) tanpa berihram, dan berlaku baginya hukum penduduk Lazimah atau Syara`i’. Pendapat ini tidak diragukan lagi akan kebatilannya, bagi barangsiapa yang memahami dalil-dalil dan penjelasan para ‘ulama. Wallahul Musta’an

* * *

Kedua : Asy-Syaikh ‘Abdullah  Al-Anshari menyebutkan pada paragraph kelima dengan redaksi sebagai berikut : “Boleh bagi yang hendak menunaikan ‘umrah untuk keluar menuju Tan’im dan memulai ihram dari tempat tersebut. Karena Tan’im adalah miqat syar’i.”

Pernyataan ini global dan mutlak. Kalau yang dimaksud adalah boleh bagi penduduk Makkah atau orang-orang yang berada di Makkah, maka pernyataan tersebut benar. Namun dikritik pada pernyataannya, “Tan’im adalah miqat syar’i.”. Bukan demikian yang benar. Bahkan daerah/tanah halal (yakni daerah di luar kawasan tanah haram) semuanya adalah miqat bagi penduduk Makkah atau orang-orang yang berada di Makkah (yakni yang hendak melaksanakan ‘Umrah). [1] Kalau mereka berihram dari Ji’ranah atau selainnya dari daerah halal (di luar kawasan tanah haram) maka tidak mengapa, dengan itu mereka telah berihram dari miqat yang syar’i. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ‘Abdurrahman bin Abi Bakr untuk keluar bersama ‘Aisyah menuju daerah halal tatkala ‘Aisyah hendak menunaikan ‘umrah. Kenyataan ‘Aisyah berihram dari Tan’im tidak mengharuskan Tan’im menjadi miqat syar’i. Namun sekedar menunjukkan disunnahkan saja, sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ‘ulama. Karena pada sebagian riwayat dari hadits ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan ‘Abdurrahman mengumrahkan ‘Aisyah dari Tan’im, yang  demikian, wallahu a’lam karena Tan’im merupakan kawasan tanah halal yang paling dekat dengan Makkah, dengan demikian bisa dipadukanlah berbagai riwayat yang ada.

Adapun kalau Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim memaksudkan dengan ungkapannya tersebut bahwa setiap yang hendak berumrah maka ia harus berihram dari Tan’im, walaupun ia berada di kawasan lain dari tanah halal, maka pernyataan tersebut tidak benar.

Karena semua yang berada di salah satu kawasan dari tanah halal, di luar tanah haram, namun sebelum miqat (yakni dia berada/tinggal di daerah antara Makkah dan Miqat, namun di sudah di luar kawasan tanah haram), maka miqatnya adalah dari rumahnya/tempat tinggalnya tersebut baik untuk haji maupun ‘umrah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Abbas, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim,

« ومن كان دون ذلك - يعني دون المواقيت - فمهله من أهله » وفي لفظ « فمهله من حيث أنشأ »

Barangsiapa yang sebelum itu - yakni sebelum miqat (diukur dari Makkah) - maka dia bertalbiyah (berihram) dari rumahnya/tempat tinggalnya. Dalam riwayat lain dengan lafadz, tempat talbiyahnya dari mana yang ia mau.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dulu berihram dari Ji’ranah pada tahun Fathu Makkah setelah beliau selesai dari membagi harta ghanimah hasil perang Hunain. Beliau tidak pergi ke Tan’im. Wallahu Waliyyut Taufiq.

* * *

Ketiga : Asy-Syaikh ‘Abdullah menyebutkan pada paragraph  ke-6 dan ke-7 sebagai berikut, “Tidak ada landasan bagi orang yang berpendapat orang yang menuju ke Jeddah maka ia telah melewati miqat. Karena dia sama sekali tidak melewati/melintasi miqat manapun, namun ia terbang di udara dan tidak turun/mendarat kecuali di Jeddah. Sementara teks hadits menyatakan, “.. bagi yang melewatinya.” dan orang yang terbang di udara tidak dianggap melewati miqat manapun.”

Ucapan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ibrahim ini tidak benar, dan telah lewat bantahannya di atas. Kesalahan Asy-Syaikh ‘Abdullah ini sebelulmnya telah dilakukan oleh Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Zaid Alu Mahmud dalam sebuah tulisan yang ia sebarkan. Ia menyatakan dalam tulisan tersebut, bahwa jama’ah haji yang datang melalui udara atau laut menuju Makkah, maka ia tidak melintasi miqat-miqat yang ada. Dia menyatakan bahwa miqatnya adalah Jeddah. Dia (Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Zaid) telah salah sebagaimana Asy-Syaikh  ‘Abdullah Al-Anshari salah. Semoga Allah mengampuni dosa keduanya.

Hai`ah Kibaril ‘Ulama Kerajaan Saudi ‘Arabia telah menulis bantahan terhadap Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Zaid Alu Mahmud yang meyakin bahwa Jeddah adalah miqat bagi para jama’ah haji atau umrah yang datang melalui udara atau laut. Bantahan tersebut diterbitkan pada saat yang tepat. Majelis Hai`ah telah benar dalam hal ini, dan telah menunaikan kewajiban memberikan nasehat kepada hamba-hamba Allah. Umat ini akan senantiasa baik selama tetap ada di tengah-tengah mereka pihak-pihak yang mengingkari kesalahan dan kemungkaran serta menjelaskan kebenaran.

Betapa indahnya apa yang diucapkan oleh Al-Imam Malik rahimahullah :

ما منا إلا راد ومردود عليه إلا صاحب هذا القبر

Tidaklah dari kita kecuali membantah atau dibantah. Kecuali penghuni kubur ini.

Yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saya memohon kepada Allah agar mengampuni kita semua dan menganugerahkan kepada kita dan segenap saudara-saudara kita agar bisa mencocoki kebenaran dalam ucapan maupun perbuatan, serta rujuk/kembali kepada kebenaran jika telah jelas dalilnya. Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik tempat meminta.

* * *

Keempat : Asy-Syaikh ‘Abdullah Al-Anshari - hadahullah - menyebutkan pada paragraph ke-8 dan ke-9, “Bagi yang hendak melanjutkan perjalanan menuju ke Makkah untuk menunaikan manasiknya, maka ia menyiapkan ihramnya dari ujung bandara, berdiri darinya dan berniat kira-kira 20 menit sebelum Jeddah, ini bagi yang hendak melanjutkan perjalanan tanpa berhenti atau singgah di Jeddah. Adapun yang singgah di Jeddah walaupun beberapa jam saja, maka boleh baginya berihram di Jeddah insya Allah, dan berlaku atasnya hukum penduduk Jeddah.”

Telah lewat di atas, bahwa rincian dan ketentuan ini tidak ada dasar kebenarannya sama sekali. Yang wajib bagi orang yang hendak berhaji atau berumrah, yang datang dari udara maupun laut, adalah berihram jika telah melintasi miqat atau sejajar dengannya, tidak boleh menunda/mengakhirkan ihram meskipun ia berniat singgah di tempat tersebut sehari atau beberapa jam saja. Kalau ia ragu tentang kesejajaran tempat tersebut, maka ia wajib berihram dari tempat yang ia yakini (bahwa itu masih belum masuk miqat), demi berhati-hati menjaga kewajiban. Yang dimakruhkan oleh sebagian ‘ulama adalah bagi orang yang berihram sebelum miqat tanpa ada alasan syar’i.

Saya memohon kepada Allah agar memberikan hidayah kita semua kepada jalan-Nya yang lurus, memberikan taufiq kita dan segenap ‘ulama kaum muslimin untuk mencocoki kebenaran dalam ucapan dan amalan. Serta melindungi kita dari berkata atas nama-Nya tanpa ilmu, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Dekat.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه

(dipublikasikan dalam majalah “Ad-Dakwah” edisi 826 tahun 1402 H, “Majalah At-Tau’iyyah Al-Islamiyyah fil Hajj”, hal. 20 edisi I tahun 1402 H, “Majalah Al-Jami’ah Al-Islamiyyah Madinah Al-Munawwarah”, edisi 35 tahun IV 1402 H, dan majalah “Al-Buhuts Al-Islamiyyah”, edisi VI hal. 282. Tercatat dalam Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah XVII/23-27)

[1] Seorang yang hendak berumrah tapi ia sedang berada di tanah haram, maka ia wajib keluar dulu ke tanah halal (di luar kawasan tanah haram). Dari sanalah ia berihram untuk ‘umrahnya.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=388#more-388

Jumat, 23 Oktober 2009

renungan

kutemukan tulisan ini dari flas yang telah lama tidak ku buka,lupa dari mana asalnya,tapi sangat bagus tulisannya

Wanita Bercadar

Kami rela tubuh kami terbungkus dengan kain yang "mungkin bagi kebanyakan orang adalah tidak menarik", tidak apalah ,"itukankan penilaian mereka", semua orang bisa menilai dan setiap kepala punya buah pikiran. Kami hanyalah hamba dan sifat hamba ingin menyenangkan Tuannya.

Biarlah wajah kami terhalang dangan kain yang "bagi orang lain menyesakkan dada saja", biarlah itukan perasaan mereka dan semua orang tidak ada halangan mengutarakan apa yang mereka rasakan. Kami adalah wanita yang ingin berkarya untuk agama ini,"Ya Rabb terimalah pengorbanan kami yang tidak seberapa ini dan Engkaulah penerima buah karya hambaMu karena itula Engkau bernama "Syakur"-Maha berterima kasih-.

Kami berpacu dengan tubuh yang terlilit ini demi meraih kemenangan islam dan kaum muslimin. Ibadah kami dengan tubuh yang terbungkus ini, bahagia yang kami rasakan lewat menutup aurat ini jika orang lain tahu pasti mereka akan memerangi kami untuk merampas jilbab yang kami kenakan ini.

Jika sekiranya berjalan itu bisa tanpa mata yang terhalang pastilah kami akan menutupnya demi kesempurnaan ibadah yang mulia ini.

Ketahuilah bahwa aurat ini kami singkap untuk suami kami yang tercinta karena Allah. JIka sekiranya ada larangan menampakkan aurat terhadap siapa saja niscaya kami akan menutupnya dari suami kami.

Kami dengan wajah yang tertutup ini bisa mampersembahkan yang terbaik bagi agama kami. Jika dengan sehelai kain ini bisa membunuh orang yang memerangi islam niscaya kami akan mempersembahkannya demi tujuan yang mulia itu.

Biarlah orang disekeliling mencemooh pakain yang suci ini kami akan tegar mengenakannya, bukan karena kami telah dibai'at untuk itu, bukan karena suami memaksanya, tapi ini adalah konsekuensi iman yang ada didada ini.

Walau gerakan emansipasi menggembar- gemborkan kebebasan perempuan dengan mengeluarkan mereka dari rumah-rumah suami atau para orang tua dengan tanpa berjilbab atau berjilbab tapi telanjang, kami tetap pada pendirian semula bercadar atau mati jadinya.

Kami bercadar bukan karena sok suci, sok tahu, sok kearab-araban, sok pamer dan sok-sok lainnya, bukan...... !. Tapi demi mencontoh para istri nabi yang mereka adalah teladan yang baik, ibu kaum muslimin.

Tuan kami adalah Allah dan kami adalah hambaNya, seorang hamba pasti menghamba pada Tuannya dengan menuruti segala perintahNya dan menjauhi apa yang dilarangNya.


Selasa, 20 Oktober 2009

muqadimah

alhamdulillah,akhirnya setelah lama mencoba akhirnya bisa juga buat blog.semoga bisa bermanfaat